Thursday, August 11, 2016

Sudjiman Gandasubrata, Bupati Tiga Zaman



Raden Adipati Aria Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata adalah Bupati Banyumas terakhir yang diangkat berdasarkan keturunan. Dialah adalah satu-satunya Bupati Banyumas yang mengalami  tiga zaman yaitu masa Pemerintahan Hindia Belanda, Pendudukan Jepang, dan masa Indonesia merdeka.
Sudjiman mencatat pengalamannya dalam dua jilid  buku biografinya; Kenangan-Kenangan 1933-1950, Purwokerto, Percetakan Serayu, 1952.  Salah satu bagian bukunya tentang masa pendudukan Jepang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul And Account of the Japanese Occupation on Banjumas Residency, Java, March 1942 to August 1945. Ithaca: Southeast Asia Program, Department of Eastern Studies, Cornell University, 1953. Buku itu menceritakan suasana Kabupaten Banyumas termasuk kota Purwokerto pada masa-masa tersebut.


Dilahirkan di onder-distrik Prigi, Kabupaten Banjarnegara pada tanggal 10 Mei tahun 1890, Sudjiman lulus HBS (K.W. II – Scholl) di Jakarta tahun 1912. Setelah sempat bekerja sebagai pangreh praja, pada tahun 1918 meneruskan ke Bestuur-school di Jakarta sampai lulus tahun 1920. Jabatan terakhirnya adalah Patih Kendal sebelum diangkat menjadi bupati Banyumas menggantikan ayahnya, Pangeran Aria Gandasubrata tahun 1933. Ayahnya mundur dari jabatan Bupati Banyumas untuk memberi jalan pada Sudjiman karena sebelumnya Pemerintah Hindia Belanda menawari Sudjiman jabatan Bupati Kendal. Sudjiman mempunyai enam orang anak, salah satunya,  Purwoto Suhadi Gandasubrata pernah menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 1992 – 1994.
Sudjiman adalah bupati mengalami masa perpindahan ibukota kabupaten dari Banyumas ke Purwokerto bahkan yang mengusulkan  Pendopo Sipanji  yang merupakan pendopo Kabupaten lama di Banyumas untuk dipindah ke Purwokerto. Dalam bukunya tidak dijelaskan alasan pemindahan serta rute pengangkutan pendopo tersebut, hanya menyebutkan bahwa meskipun permintaan pemindahan pendopo bukan merupakan hal yang lazim, pemerintah Hindia Belanda tetap memberi persetujuan.
Pada masa pemerintahannya, kota Purwokerto  dan Kabupaten Banyumas dibuat lebih modern. Jalan-jalan dilebarkan, jembatan  dan bangunan baru dibangun, sekolah didirikan di tiap desa serta Puskesmas dibangun untuk tiap kecamatan. Saat itu Banyumas menjadi contoh bagi kabupaten-kabupaten lain. Sebagai penghargaan pada 15 Agustus 1936 Sudjiman diberi gelar Aria dan pada 25 Agustus 1939 diberi gelar Adipati. Anak sulungnya, Budiman Gandasubrata yang kemudian pensiun sebagai salah seorang Direktur di Bank Indonesia melanjutkan kuliah di Belanda tahun 1937. Pada waktu Jerman menginvasi Belanda tahun 1944, komunikasi terputus. Karena ingin mengetahui nasib anaknya, Sudiman mengambil langkah praktis. Bersama istrinya Sudjiman menghadap Sosrokartono, kakak Kartini yang tinggal di Bandung. Sosrokartono cukup meletakkan air pada jambangan kemudian menerawangnya dan berkata bahwa Budiman baik-baik saja dan sudah menikah dengan seorang wanita Belanda. Ketika kemudian Budiman pulang setelah proklamasi kemerdekaan, ia bercerita pada sudah menikah dengan Maria Bloon, seorang dokter gigi Belanda yang satu kampus dengannya di Utrecht .

Pada waktu Agresi Militer I Tahun 1947, Departemen Dalam Negeri dan Kepolisian RI yang yang ada di Purwokerto diperintahkan untuk mundur ke Jogja. Residen Banyumas mengungsi ke Banjarnegara dan Bupati Banyumas menyingkir ke luar kota. Sudjiman mengungsi ke Baturraden sampai akhirnya tertangkap beberapa bulan kemudian. Residen Belanda menawari untuk menjabat sebagai Bupati Banyumas di bawah pemerintahan Belanda tetapi Sudjiman menolaknya dengan mengatakan bahwa ia adalah Bupati Banyumas Republik Indonesia dan telah mengangkat sumpah setia pada Republik Indonesia. Karena menolak, Belanda kemudian merencanakan untuk mengganti Sudjiman sebagai Bupati Banyumas. Semula yang dipertimbangkan sebagai pengganti adalah anak laki-laki Sudjiman, tetapi putra sulungnya, Mr. Budiman Gandasubrata sudah bergabung dengan Republik di Yogyakarta dan putra berikutnya, Adjito Gandasubrata disamping masih terlalu muda juga bergabung dengan Tentara Pelajar dan sedang bertempur melawan Belanda. Akhirnya Belanda memilih orang lain dan meminta Sudjiman untuk keluar dari Banyumas karena dianggap masih berpengaruh pada pamong praja yang juga ikut menolak bekerjasama dengan Belanda.  Sudjiman juga menolak untuk menyerahkan keris-keris pusaka Kabupaten kepada penggantinya karena merasa masih menjadi Bupati Banyumas dan yang berhak memberhentikannya adalah Pemerintah RI. Ia akhirnya memilih untuk tinggal di Jakarta sebagai Bupati Banyumas dalam pengasingan dan tetap menerima gaji dari Pemerintah Republik. Pada akhir tahun 1948, Menteri Dalam Negeri Mr. Mohammad Roem menawarinya untuk menjabat sebagai Gubernur RI untuk Sumatra Barat, namun dengan alasan kesehatan jabatan itu ditolaknya, tetapi ketika tahun 1949 Mr. Mohamad Roem menawari jabatan Residen Banyumas yang kosong, jabatan itu diterima sampai pensiun tahun 1955.Sudjiman meninggal beberapa bulan setelah pensiun dalam usia 65 tahun dan dimakamkan di pemakaman keluarga Kalibogor Purwokerto. Iring-iringan masyarakat yang mengantar kepergiannya waktu itu mencapai 2 kilometer.

No comments:

Post a Comment