Wednesday, August 24, 2016

Rumah Dinas Residen Banyumas


Selesai dibangun awal tahun 1939, rumah ini merupakan pengganti rumah dinas lama di kota Banyumas karena pindahnya ibukota Karesidenan dari kota Banyumas ke Purwokerto.
Lama sebelum Pemerintah Hindia Belanda menggabungkan Kabupaten Banyumas dan Purwokerto, orang-orang tua di desa Kranji telah meramalkan bahwa di kemudian hari dukuh Sitapen (lokasi rumah ini) akan terpilih menjadi rumah karesidenan walaupun mereka tahu di kota Banyumas sudah berdiri rumah residen yang besar dan luas
Pada masanya, rumah ini merupakan bangunan termegah di Purwokerto. Sekarang menjadi Rumah Jabatan Kepala Bakorwil III Banyumas.



The One & Only: "Ragasemangsang" Makam di tengah jalan Purwokerto


Konon ini adalah makam seorang jawara yang kalah duel dengan local hero Purwokerto, Kyai Pekih (juga diabadikan sebagai nama jalan di sebelah baratnya). Ia tewas dan tubuhnya tersangkut di pohon, karena itu dinamakan ragasemangsang (raga=tubuh, semangsang/temangsang=tersangkut). Lokasi makamnya dinamakan Jalan Ragasemangsang dan terletak di tengah persimpangan dengan Jalan Kabupaten. Sampai saat ini belum ada orang yang mengikuti jejaknya untuk dimakamkan di tengah jalan...

Societeit Panti Soemitro


Jika Societeit Slamat (kini RRI Purwokerto) merupakan tempat berkumpulnya kaum elit Eropa maka Societeit Panti Soemitro yang dibangun tahun 1917 merupakan tempat berkumpulnya kaum elit pribumi di Purwokerto. Gedung ini merupakan tempat sosialisasi, bermain billyard serta melakukan aktivitas kesenian seperti berlatih tari dan pentas wayang orang. Pada waktu Belanda melakukan Agresi Militer I, Panti Soemitro termasuk salah satu bangunan yang dibumihanguskan tentara Republik Indonesia dan baru dibangun kembali tahun 1949 pada waktu Bupati Banyumas dijabat oleh R. Sapangkat.
 

Kini bangunan yang terletak di jalan Ragasemangsang ini menjadi sekretariat dan tempat berkumpulnya para pensiunan pegawai.

 

De Woning van de Administrateur van de Suikerfabriek Poerwokerto

Rumah administratur Pabrik Gula Poerwokerto ini terletak di jalan Jenderal Sudirman Purwokerto sebelah timur Bank Mandiri. Suikerfabriek Poerwokerto didirikan pada tahun 1893 dan terletak di seberangnya (sekarang menjadi Rita Supermarket). Pada Desember 1945 sampai Juli 1947 rumah ini menjadi Markas Resimen Purwokerto dan pada waktu Belanda menduduki Purwokerto Juli 1947 menjadi stasiun pengisian bahan bakar tentara Belanda sampai Desember 1949. Tahun 1959 bangunan ini menjadi kantor dan pangkalan bus Damri dan akhirnya pada penghujung dekade 1990an seperti terjadi di banyak tempat menjadi komplek ruko yang diberi nama Ruko Satria.


Thursday, August 18, 2016

Flyer film tahun ‘50an; Jejak bioskop di Purwokerto




Gedung bioskop di Purwokerto telah ada sejak sebelum kemerdekaan, ada City Theater yang merupakan jaringan bioskop di beberapa kota di Hindia Belanda.  City menempati gedung Societeit Slamat yang sekarang menjadi RRI Purwokerto dan eksis sampai tahun 1950.  Dekade 1950an tercatat ada tiga gedung bioskop di Purwokerto yaitu Gloria, Elita dan Capitol. Gloria kemudian menjadi Srimaya, Elita menjadi Nusantara, dan Capitol menjadi Garuda. Pada periode tahun 1970-an, Elita menjadi  bioskop dengan segmen kelas menengah ke atas, sedang Gloria dan Capitol untuk segmen kelas bawah. Setelah munculnya gedung bioskop lainnya, Elita terdegradasi menjadi bioskop kelas bawah. Dulu bioskop masih mengenakan 2 tarif, yaitu kelas 1 dan kelas 2. Kelas 1 untuk penonton yang membayar lebih mahal terletak di belakang  dan memakai nomor kursi, sedang kelas 2 terletak di depan tanpa nomor sehingga penonton berebut masuk untuk memilih kursi.  Menonton film zaman dulu berbeda dengan sekarang. Bila operan film terlambat atau roll film rusak, maka penonton berteriak mengeluarkan semua kosa kota terjorok yang dimiliki, ditambah lagi dengan sampah-sampah yang melayang di udara seperti perang bintang. Maklum saja, setiap zaman memiliki semangatnya sendiri. Bioskop Capitol yang sekarang sudah tidak berbekas adalah gedung bioskop bergaya art deco dan memiliki balkon untuk penonton kelas 1. Setelah turun peringkat menjadi bioskop kelas bawah, balkon itu tetap digunakan dan kadang menjadi WC umum untuk penonton yang malas turun tangga. Sekarang, Capitol dan Elita sudah lenyap,  sedang Gloria sudah alih fungsi menjadi gudang.




Thursday, August 11, 2016

Banyumas Kota yang Hilang

Banyumas semula adalah kota terbesar dalam Karesidenan Banyumas yang mencakup empat Kabupaten: Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara. Kota Banyumas didirikan setelah berakhirnya Perang Jawa tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda memang merancang Banyumas sebagai ibukota Kabupaten sekaligus ibukota Karesidenan, sehingga banyak bangunan dan infrastruktur sudah disiapkan pada awal berdirinya Banyumas. Sungai Serayu di Banyumas merupakan jalan pengangkutan utama pada masanya. Barang-barang impor dari luar negeri masuk Banyumas melalui Cilacap dengan perahu setelah itu baru didistribusikan ke seluruh wilayah Karesidenan. Sebaliknya, hasil bumi seperti gula, kopi, teh, nilai dan lainnya dikumpulkan di Banyumas sebelum diangkut dengan perahu ke Cilacap untuk dikirim ke luar negeri. 



Tahun 1886 ketika jalan kereta api Bandung – Jogja via Maos dan Kroya dibuka dan tidak lama kemudian pengangkutan barang dapat dilakukan dari Maos melalui Purwokerto ke Banjarnegara setelah berdirinya Serajoedal Stoomstram Maatschappij (SDS) tahun 1893, kejayaan kota Banyumas mulai redup. Ditambah lagi dengan dibukanya jalur kereta api cepat dari Cirebon ke Jogja melalui Purwokerto dan Kroya.


Sebaliknya, Purwokerto semakin bertambah ramai, penduduknya bertambah, sekolah-sekolah dan kantor-kantor baru didirikan. Selain itu Purwokerto menjadi pusat aktivitas Zending dan misionaris yang ikut mendirikan sekolah, gereja dan rumah sakit.
Depresi besar yang melanda dunia sejak tahun 1929 terasa akibatnya sampai ke Hindia Belanda dan memaksa pemerintah Hindia Belanda melakukan penghematan besar-besaran. Mulai bulan Januari 1936 Kabupaten Purwokerto yag semula terpisah dengan Kabupaten Banyumas dihapuskan dan dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Banyumas. Distrik Purwareja yang semula masuk Kabupaten Banyumas dimasukkan ke wilayah Kabupaten Banjarnegara. 





 Puncak beralihnya ibukota Kabupaten dari Banyumas ke Purwokerto adalah dengan dipindahkannya pendopo Kabupaten Banyumas, yaitu Pendopo Sipanji ke bangunan kabupaten di Purwokerto awal tahun 1937. Sejak saat itu, Banyumas yang semula adalah ibukota Karesidenan dan Kabupaten terdegradasi menjadi ibukota Kecamatan. Purwokerto menjadi ibukota Kabupaten Banyumas yang baru dan Banyumas menjadi kota yang senyap


Sudjiman Gandasubrata, Bupati Tiga Zaman



Raden Adipati Aria Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata adalah Bupati Banyumas terakhir yang diangkat berdasarkan keturunan. Dialah adalah satu-satunya Bupati Banyumas yang mengalami  tiga zaman yaitu masa Pemerintahan Hindia Belanda, Pendudukan Jepang, dan masa Indonesia merdeka.
Sudjiman mencatat pengalamannya dalam dua jilid  buku biografinya; Kenangan-Kenangan 1933-1950, Purwokerto, Percetakan Serayu, 1952.  Salah satu bagian bukunya tentang masa pendudukan Jepang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul And Account of the Japanese Occupation on Banjumas Residency, Java, March 1942 to August 1945. Ithaca: Southeast Asia Program, Department of Eastern Studies, Cornell University, 1953. Buku itu menceritakan suasana Kabupaten Banyumas termasuk kota Purwokerto pada masa-masa tersebut.


Dilahirkan di onder-distrik Prigi, Kabupaten Banjarnegara pada tanggal 10 Mei tahun 1890, Sudjiman lulus HBS (K.W. II – Scholl) di Jakarta tahun 1912. Setelah sempat bekerja sebagai pangreh praja, pada tahun 1918 meneruskan ke Bestuur-school di Jakarta sampai lulus tahun 1920. Jabatan terakhirnya adalah Patih Kendal sebelum diangkat menjadi bupati Banyumas menggantikan ayahnya, Pangeran Aria Gandasubrata tahun 1933. Ayahnya mundur dari jabatan Bupati Banyumas untuk memberi jalan pada Sudjiman karena sebelumnya Pemerintah Hindia Belanda menawari Sudjiman jabatan Bupati Kendal. Sudjiman mempunyai enam orang anak, salah satunya,  Purwoto Suhadi Gandasubrata pernah menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 1992 – 1994.
Sudjiman adalah bupati mengalami masa perpindahan ibukota kabupaten dari Banyumas ke Purwokerto bahkan yang mengusulkan  Pendopo Sipanji  yang merupakan pendopo Kabupaten lama di Banyumas untuk dipindah ke Purwokerto. Dalam bukunya tidak dijelaskan alasan pemindahan serta rute pengangkutan pendopo tersebut, hanya menyebutkan bahwa meskipun permintaan pemindahan pendopo bukan merupakan hal yang lazim, pemerintah Hindia Belanda tetap memberi persetujuan.
Pada masa pemerintahannya, kota Purwokerto  dan Kabupaten Banyumas dibuat lebih modern. Jalan-jalan dilebarkan, jembatan  dan bangunan baru dibangun, sekolah didirikan di tiap desa serta Puskesmas dibangun untuk tiap kecamatan. Saat itu Banyumas menjadi contoh bagi kabupaten-kabupaten lain. Sebagai penghargaan pada 15 Agustus 1936 Sudjiman diberi gelar Aria dan pada 25 Agustus 1939 diberi gelar Adipati. Anak sulungnya, Budiman Gandasubrata yang kemudian pensiun sebagai salah seorang Direktur di Bank Indonesia melanjutkan kuliah di Belanda tahun 1937. Pada waktu Jerman menginvasi Belanda tahun 1944, komunikasi terputus. Karena ingin mengetahui nasib anaknya, Sudiman mengambil langkah praktis. Bersama istrinya Sudjiman menghadap Sosrokartono, kakak Kartini yang tinggal di Bandung. Sosrokartono cukup meletakkan air pada jambangan kemudian menerawangnya dan berkata bahwa Budiman baik-baik saja dan sudah menikah dengan seorang wanita Belanda. Ketika kemudian Budiman pulang setelah proklamasi kemerdekaan, ia bercerita pada sudah menikah dengan Maria Bloon, seorang dokter gigi Belanda yang satu kampus dengannya di Utrecht .

Pada waktu Agresi Militer I Tahun 1947, Departemen Dalam Negeri dan Kepolisian RI yang yang ada di Purwokerto diperintahkan untuk mundur ke Jogja. Residen Banyumas mengungsi ke Banjarnegara dan Bupati Banyumas menyingkir ke luar kota. Sudjiman mengungsi ke Baturraden sampai akhirnya tertangkap beberapa bulan kemudian. Residen Belanda menawari untuk menjabat sebagai Bupati Banyumas di bawah pemerintahan Belanda tetapi Sudjiman menolaknya dengan mengatakan bahwa ia adalah Bupati Banyumas Republik Indonesia dan telah mengangkat sumpah setia pada Republik Indonesia. Karena menolak, Belanda kemudian merencanakan untuk mengganti Sudjiman sebagai Bupati Banyumas. Semula yang dipertimbangkan sebagai pengganti adalah anak laki-laki Sudjiman, tetapi putra sulungnya, Mr. Budiman Gandasubrata sudah bergabung dengan Republik di Yogyakarta dan putra berikutnya, Adjito Gandasubrata disamping masih terlalu muda juga bergabung dengan Tentara Pelajar dan sedang bertempur melawan Belanda. Akhirnya Belanda memilih orang lain dan meminta Sudjiman untuk keluar dari Banyumas karena dianggap masih berpengaruh pada pamong praja yang juga ikut menolak bekerjasama dengan Belanda.  Sudjiman juga menolak untuk menyerahkan keris-keris pusaka Kabupaten kepada penggantinya karena merasa masih menjadi Bupati Banyumas dan yang berhak memberhentikannya adalah Pemerintah RI. Ia akhirnya memilih untuk tinggal di Jakarta sebagai Bupati Banyumas dalam pengasingan dan tetap menerima gaji dari Pemerintah Republik. Pada akhir tahun 1948, Menteri Dalam Negeri Mr. Mohammad Roem menawarinya untuk menjabat sebagai Gubernur RI untuk Sumatra Barat, namun dengan alasan kesehatan jabatan itu ditolaknya, tetapi ketika tahun 1949 Mr. Mohamad Roem menawari jabatan Residen Banyumas yang kosong, jabatan itu diterima sampai pensiun tahun 1955.Sudjiman meninggal beberapa bulan setelah pensiun dalam usia 65 tahun dan dimakamkan di pemakaman keluarga Kalibogor Purwokerto. Iring-iringan masyarakat yang mengantar kepergiannya waktu itu mencapai 2 kilometer.

Angka adalah Anggoro Kasih

Dr. Angka lebih dikenal sebagai salah satu nama jalan di Purwokerto dibandingkan sebagai salah satu pendiri dan bendahara Boedi Oetomo. Jalan Dr. Angka merupakan jalan yang cukup dikenal masyarakat kota Purwokerto, di jalan ini terdapat dua rumah sakit besar serta sebuah hotel yang terkenal dengan hiburan malamnya. Proses pelebaran jalan Dr. Angka menuai kontroversi karena harus menebang sederatan pohon besar dan mengambil tanah penduduk di pinggir jalan.


Angka merupakan singkatan dari Anggoro Kasih (Selasa Kliwon), hari kelahirannya. Dilahirkan tahun 1887, Angka lulus STOVIA tahun 1912 dengan predikat Cum Laude. Sebagai dokter , Angka pernah bertugas di beberapa kota termasuk Banyumas dan Purwokerto. Setelah pensiun tahun 1949, bersama beberapa rekannya Dr. Angka mendirikan Apotik Sang Dwiwarna di paviliun kediamannya di Jalan Gatot Subroto (sudut perempatan Jalan A. Yani – Jalan Masjid) yang kemudian dijual tahun 1970 kepada orang lain.
Dr. Angka pernah diminta diminta untuk menandatangani “surat pernyataan pengakuan” sebagai perintis kemerdekaan untuk mendapatkan tunjangan, tetapi menolak dengan menjawab bahwa perbuatannya merupakan kewajiban dan tanggung jawab kepada pemerintah dan rakyat Indonesia tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Suatu sikap yang pada jaman sekarang ini merupakan suatu kemewahan.

Museum BRI di Purwokerto

 

Museum BRI di Purwokerto, kalau tidak salah museum ini dibangun tahun 1990an dengan pelaksana arsitek senior Hoemar Tjokrodiatmo. Saya ingat dulu pak Hoemar sering mampir ke rumah untuk sekedar berbincang dengan bapak saya selepas mengawasi proyek pembangunan museum tersebut. Di halaman museum terdapat dua patung R. Aria Wirjaatmadja, Patih Purwokerto pendiri De Poerwokertosche Hulp-en Spaarbank yang merupakan cikal bakal Bank Rayat Indonesia. Sayang ada kanopi, neonsign dan pos satpam di bagian depan yang agak menggangu visual.





Dr. Goembrek

Di kota Purwokerto ada satu ruas jalan yang diberi nama Dr. Gumbreg. Banyak yang kurang familier dengan nama ini, bahkan ada yang mengira bahwa nama ini milik orang bule. Hanya sedikit yang tahu bahwa Dr. Goembrek (memakai “k” bukan “g”) adalah salah satu dari sembilan pendiri Boedi Oetomo dan menjabat sebagai komisaris dalam kepengurusan Boedi Oetomo. Nama Goembrek bukan berasal dari bahasa Belanda tetapi nama wuku ke-6 dalam kalender Jawa. Beliau lahir 28 Juni 1885 dan lulus STOVIA 11 April 1911. 

Dr. Goembrek menjalani masa pengabdian di beberapa tempat, diantaranya di RS Banyumas dan Sanatorium Karangmangu . Sebagai dokter yang tidak berpraktek swasta, ia tidak menolak pasien yang berobat di luar jam dinas, bahkan menolak untuk dibayar. Pengabdian di bidang kedokteran yang panjang telah dijalankannya. Sampai menjelang akhir hayatnya tahun 1967, Dr. Goembrek masih bekerja secara sukarela di RS Banyumas . 

Dr. Goembrek meninggal dalam kesepian, setelah didahului oleh kematian istrinya sekitar 13 tahun sebelumnya dan tidak meninggalkan keturunan. Beliau dimakamkan di Pemakaman keluarga Dawuhan Banyumas.
Ayah saya , Soedarmadji pernah mengusulkan nama Dr. Goembrek sebagai nama RSUD Banyumas melalui tulisan berjudul “RSUD Banyumas: Mengapa patut dinamakan Dokter Goembrek” tapi hingga saat ini belum ada respon. Satu – satunya penghargaan yang diterima dari pemerintah adalah pemberian sebagai nama jalan, itupun ejaan dan penulisannya salah.


(kredit foto: Google Street View)

Cinema in Java: Peran Rockeffeler Foundation pada Propaganda Kesehatan di Jawa


Satu pendekatan baru dalam propaganda dan edukasi kesehatan di Hindia Belanda bermula di Purwokerto. Tahun 1933, Dr. J.L. Hydrick dari Amerika Serikat sebagai field officer Rockefeller Foundation memperkenalkan metode baru dalam propaganda dan edukasi kesehatan di wilayah Jawa dengan Purwokerto sebagai sentralnya.
Pendekatan penanganan kesehatan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu lebih dominan pada pendekatan kuratif, melalui pemberian obat-obatan dan pembangunan fasilitas kesehatan, dengan vaksinasi cacar sebagai pengecualian. Hydrick menawarkan pendekan preventif untuk menanggulangi wabah cacing tambang yang melanda sebagian besar populasi di beberapa daerah di Jawa.
Selain merekrut dan melatih mantri kesehatan untuk berkeliling ke rumah warga, Hydrick menggunakan pendekatan lain, yaitu melalui sosialisasi menggunakan film yang diputar di tanah lapang, metode yang masih baru dan belum pernah dipergunakan sebelumnya. Pada awalnya film yang diputar untuk keperluan demonstrasi dan propaganda kesehatan ini adalah film impor berdurasi sekitar 10 menit berjudul Unhooking the hookworm. Pada tahun-tahun selanjutnya Hydrick kemudian mulai memproduksi fim sendiri disebuah studio kecil di Batavia. Film yang diproduksi oleh Hydrick jauh lebih sederhana dengan menggunakan model lokal yang intinya menggambarkan sebelum dan sesudah mengenal kebersihan terutama yang berhubungan dengan penyakit cacing tambang. Kisah dalam film ituadalah tentang seorang Jawa yang bernama Kromo, seorang petani yang belajar mengenai seluk beluk penyakit cacing tambang, cara melemahkan infeksinya yang diperoleh dari mantra kesehatan, kemudian mengambil obatnya kemudian sembuh dari penyakit. Dalam film juga digambarkan dampak ketika orang menderita penyakit yang menurunkan produktifitasnya, olehkarena itu ketika kesembuhan didapat maka produktifitasnya juga pulih kembali.Pemutaran film itu menarik banyak orang untuk menonton, sehingga pesan yang disampaikan dapat mengena.








Keterangan foto: Upaya pemberantasan cacing tambang di daerah Purwokerto dan sekitarnya,
Sumber : J.L. Hydrick, Intensive Rural Hygiene Work and Public Health Education of the Public Health Service of Netherlands India (Batavia, DVG:1937)

Sekolah Mantri Kakus

Berawal dari program Rockeffeler Foundation untuk pemberantasan cacing tambang di pulau Jawa pada tahun 1924. Dr. John Lee Hydrick dari South Carolina ditugaskan untuk menjalankan proyek ini di Jawa. Purwokerto adalah salah satu tempat yang dijadikan percontohan pada tahun 1933 dan pada perkembangannya kemudian menjadi pusat pendidikan hygiene untuk wilayah Jawa. Tahun 1933 juga dibentuk Demonstratie Regentschaps Gezondheid Dienst (DRGD) atau Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten di Purwokerto. Dinas ini terpisah dari Dinas Kuratif yang telah ada sebelumnya. Kegiatan utamanya adalah pemberantasan cacing tambang yang menekankan anjuran pembangunan jamban dan perbaikan pelayanan air minum. Pada tahun 1936 didirikanlah Sekolah Mantri Hygiene atau Hygiene Mantri School (HMS) bertempat di Purwokerto. Lulusannya dekenal sebagai mantri kakus (jamban),karena mantri ini aktif dalam edukasi mengenai penggunaan jamban ke rumah-rumah penduduk. Sekolah ini kemudian pindah ke Banyumas dan gedung ini menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) sampai dihapusnya SPG dan berganti menjadi SMA Negeri 5 Purwokerto.



Societeit "Slamat"

Di tempat ini, 4 Januari 1946, Tan Malaka melahirkan "Persatoean Perdjoeangan"
Gedung RRI Purwokerto, dulu gedung ini bernama Societeit "Slamat". Pada masa pendudukan Jepang bernama Gedung "Asia Bersatoe" dan pernah pula menjadi gedung bioskop City Theater. Berikutnya berubah menjadi Balai Prajurit sebelum tahun 1964 menjadi Gedung RRI Purwokerto. Sayang bangunan aslinya sudah tidak berbekas.


 Majalah Tempo pernah menulis:
“PURWOKERTO, kota kecil di selatan Jawa Tengah, menyala-nyala. Bintang Merah, bendera Murba, berderet-deret setengah kilometer dari alun-alun kota hingga Societeit, balai pertemuan merangkap gedung bioskop. Tiga ratusan orang memenuhi bangunan itu. Mereka wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan laskar.”
Persatuan Perjuangan adalah suatu organisasi massa yang bertujuan menciptakan persatuan di antara organisasi-organisasi yang ada untuk mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia. Organisasi ini dipelopori oleh Tan Malaka dan berhasil menghimpun 140 lebih organisasi politik, laskar, dan partai politik seperti Masyumi dan PNI, yang tidak puas dengan lambannya diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Panglima Besar Jenderal Soedirman juga ikut berpidato menyatakan dukungannya: “”Lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.” Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada 15 Januari 1946.
Perselisihan antara kelompok Persatuan Perjuangan dan pemerintah parlementer akhirnya meledak dengan terjadinya Peristiwa 3 Juli 1946. Kelompok ini bubar dan tokoh-tokoh utamanya ditangkap dengan tuduhan berupaya melemahkan pemerintah.


Kredit foto: Google Street View & Tropen Museum

Gedung Setan : Jejak Freemasonry di Purwokerto

Gedung Setan : Jejak Freemasonry di Purwokerto
Disebut Gedung Setan bukan karena gedung ini ada setan atau hantunya, tetapi ini sebutan yang lazim untuk Gedung Loji (Loge/Lodge) Tarekat Freemasonry yang ada di beberapa kota di Indonesia sejak sebelum abad 20. Adanya ruang pemujaan beserta altar dari pengikut ini membuat masyarakat sekitar mengira bahwa tarekat ini melakukan ritual pemanggilan setan, karena itu loji tempat berkumpulnya tarekat freemasonry disebut Gedung Setan. 


Loge Serajoedal, nama untuk Tarekat Freemasonry Purwokerto diresmikan pada tanggal 4 Juni 1933 dengan pendiri R. A.A. Sumitro Kolopaking yang kemudian menjadi Suhu Agung pertama dari Loge Agung Indonesia. Meskipun secara resmi Tarekat Freemasonry didirikan tahun 1933, gerakan theosofi di Purwokerto telah berlangsung lama sebelumnya. Tercatat pada tahun 1915 beberapa penduduk Purwokerto sudah menjadi anggota Nederlandsch-Indische Theosofische Vereeniging, R. Danoesoebroto, Patih Purwokerto aktif dalam kepengurusannya dengan anggota yang sebagaian berasal dari pamong praja.
Terletak di Jalan Bayangkara (dulu Jalan Puteran) Kini gedung tersebut menjadi properti PT. KAI dan dipergunakan sebagai kantor Satuan Lalu Lintas Polres Banyumas