Raden Adipati Aria Sudjiman
Mertadiredja Gandasubrata adalah Bupati Banyumas terakhir yang diangkat
berdasarkan keturunan. Dialah adalah satu-satunya Bupati Banyumas yang
mengalami tiga zaman yaitu masa Pemerintahan
Hindia Belanda, Pendudukan Jepang, dan masa Indonesia merdeka.
Sudjiman mencatat pengalamannya
dalam dua jilid buku biografinya;
Kenangan-Kenangan 1933-1950, Purwokerto, Percetakan Serayu, 1952. Salah satu bagian bukunya tentang masa pendudukan
Jepang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul And Account of the Japanese Occupation on Banjumas Residency, Java,
March 1942 to August 1945. Ithaca: Southeast Asia Program, Department of
Eastern Studies, Cornell University, 1953. Buku itu menceritakan suasana
Kabupaten Banyumas termasuk kota Purwokerto pada masa-masa tersebut.
Dilahirkan di onder-distrik
Prigi, Kabupaten Banjarnegara pada tanggal 10 Mei tahun 1890, Sudjiman lulus HBS (K.W. II – Scholl) di Jakarta tahun
1912. Setelah sempat bekerja sebagai pangreh praja, pada tahun 1918 meneruskan
ke Bestuur-school di Jakarta sampai lulus
tahun 1920. Jabatan terakhirnya adalah Patih Kendal sebelum diangkat menjadi
bupati Banyumas menggantikan ayahnya, Pangeran Aria Gandasubrata tahun 1933.
Ayahnya mundur dari jabatan Bupati Banyumas untuk memberi jalan pada Sudjiman
karena sebelumnya Pemerintah Hindia Belanda menawari Sudjiman jabatan Bupati
Kendal. Sudjiman mempunyai enam orang anak, salah satunya, Purwoto Suhadi Gandasubrata pernah menjadi
ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 1992 – 1994.
Sudjiman adalah bupati mengalami
masa perpindahan ibukota kabupaten dari Banyumas ke Purwokerto bahkan yang mengusulkan
Pendopo Sipanji yang merupakan pendopo Kabupaten lama di
Banyumas untuk dipindah ke Purwokerto. Dalam bukunya tidak dijelaskan alasan
pemindahan serta rute pengangkutan pendopo tersebut, hanya menyebutkan bahwa
meskipun permintaan pemindahan pendopo bukan merupakan hal yang lazim,
pemerintah Hindia Belanda tetap memberi persetujuan.
Pada masa pemerintahannya, kota
Purwokerto dan Kabupaten Banyumas dibuat
lebih modern. Jalan-jalan dilebarkan, jembatan dan bangunan baru dibangun, sekolah didirikan di tiap desa serta Puskesmas dibangun
untuk tiap kecamatan. Saat itu Banyumas menjadi contoh bagi kabupaten-kabupaten
lain. Sebagai penghargaan pada 15 Agustus 1936 Sudjiman diberi gelar Aria dan pada
25 Agustus 1939 diberi gelar Adipati. Anak sulungnya, Budiman Gandasubrata yang
kemudian pensiun sebagai salah seorang Direktur di Bank Indonesia melanjutkan
kuliah di Belanda tahun 1937. Pada waktu Jerman menginvasi Belanda tahun 1944,
komunikasi terputus. Karena ingin mengetahui nasib anaknya, Sudiman mengambil
langkah praktis. Bersama istrinya Sudjiman menghadap Sosrokartono, kakak
Kartini yang tinggal di Bandung. Sosrokartono cukup meletakkan air pada
jambangan kemudian menerawangnya dan berkata bahwa Budiman baik-baik saja dan
sudah menikah dengan seorang wanita Belanda. Ketika kemudian Budiman pulang setelah
proklamasi kemerdekaan, ia bercerita pada sudah menikah dengan Maria Bloon, seorang
dokter gigi Belanda yang satu kampus dengannya di Utrecht .
Pada waktu Agresi Militer I Tahun
1947, Departemen Dalam Negeri dan Kepolisian RI yang yang ada di Purwokerto
diperintahkan untuk mundur ke Jogja. Residen Banyumas mengungsi ke Banjarnegara
dan Bupati Banyumas menyingkir ke luar kota. Sudjiman mengungsi ke Baturraden sampai akhirnya tertangkap beberapa bulan kemudian. Residen Belanda
menawari untuk menjabat sebagai Bupati Banyumas di bawah pemerintahan Belanda tetapi
Sudjiman menolaknya dengan mengatakan bahwa ia adalah Bupati Banyumas Republik
Indonesia dan telah mengangkat sumpah setia pada Republik Indonesia. Karena
menolak, Belanda kemudian merencanakan untuk mengganti Sudjiman sebagai Bupati Banyumas. Semula yang dipertimbangkan sebagai pengganti adalah anak laki-laki Sudjiman, tetapi putra sulungnya, Mr. Budiman Gandasubrata sudah bergabung dengan Republik di Yogyakarta dan putra berikutnya, Adjito Gandasubrata disamping masih terlalu muda juga bergabung dengan Tentara Pelajar dan sedang bertempur melawan Belanda. Akhirnya Belanda memilih orang lain dan meminta Sudjiman
untuk keluar dari Banyumas karena dianggap masih berpengaruh pada pamong praja yang
juga ikut menolak bekerjasama dengan Belanda.
Sudjiman juga menolak untuk menyerahkan keris-keris pusaka Kabupaten
kepada penggantinya karena merasa masih menjadi Bupati Banyumas dan yang berhak
memberhentikannya adalah Pemerintah RI. Ia akhirnya memilih untuk tinggal di
Jakarta sebagai Bupati Banyumas dalam pengasingan dan tetap menerima gaji dari
Pemerintah Republik. Pada akhir tahun 1948, Menteri Dalam Negeri Mr. Mohammad
Roem menawarinya untuk menjabat sebagai Gubernur RI untuk Sumatra Barat, namun
dengan alasan kesehatan jabatan itu ditolaknya, tetapi ketika tahun 1949 Mr.
Mohamad Roem menawari jabatan Residen Banyumas yang kosong, jabatan itu diterima
sampai pensiun tahun 1955.Sudjiman meninggal beberapa bulan setelah pensiun
dalam usia 65 tahun dan dimakamkan di pemakaman keluarga Kalibogor Purwokerto.
Iring-iringan masyarakat yang mengantar kepergiannya waktu itu mencapai 2
kilometer.